I.
PENDAHULUAN
Bahwasannya ilmu
Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid didalam
menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak terdapat
nashnya, juga merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam
memahami isi undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan
perundang-undangan secara adil sesuai dengan maksud syar’i.
Dalam hal ini kami akan membahas
sumber hukum islam yang ke-2 yaitu As-Sunnah, ulama Fiqh memandang As-sunnah
secara etimologi berarti jalan, tetapi kalau kata ini dikaitkan dengan
Rasulullah SAW, baik dalam kata ataupun pengertiannya, maka maksudnya adalah
suatu sabda atau perbuatan atau taqrir beliau. [1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertiandan fungsi As-Sunnah dalam
pembinaan hukum islam?
B. Macam-macam
As-sunnah serta perbedaannya dengan Al hadist dan astsar
C. Apa
kehujjahan Assunnah?
D. Hubungan
anatara Al-Qur’an dan Assunnah
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan fungsi Assunnah
1. Pengertian
sunnah
Sunnah berasal
dari bahasa arab yang secara etimologis berarti’ jalan yang biasa dilalui” atau
“cara yang senantiasa dilakukan “ , atau “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”,
apakah kebiasaan atau cara itu sesuatu kebiasaan yang baik atau buruk.
Secara
terminologis(dalam istilah sari’ah),
sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu
fiqh dan ushul fiqih.
Sunnah menurut
para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun
yang sejenisnya (sifat keadaan atau
himmah)
Sunnah
menurut ahli ushul fiqh adalah “ segala
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.
Sedangkan sunnah
menurut para ahli fiqh , di samping pengertian yang dikemukakan para ulama’
ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hokum taqlifih, yang
mengandung pengertian”perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan
apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa)”[2]
Atau terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan
maksudnya, seperti pelajaran shalat yang beliau ajarkan kepada mereka (para
sahabat) secara praktek dan juga cara-cara ibadah haji. Dan kadang para
sahabatnya brbuat sesuatu di hadiratnya atau sampai berita-berita berupa ucapan
atau tindakan mereka kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan
didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak
dibenarkan) atau nampak padanya setuju dan senang, sebagai mana diriwayatkan
bahwa beliau tidak mengingkari orang yang makan daging biawak di tempat makan
beliau.[3]
2. Fungi
Assunnah
Sebagian besar ayat-ayathukum dalam
Al-Qur’an masih bersifat global, yang masih memerlukan penjelasan dalam
implementasiny. Fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-qur’an,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
….dan
kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka…(QS.
An-Nahl:44)
Al-Qur’an disebut sebagai sumber
hukum dan dalil hukum yang pertama, dan sunnah disebut sumber hukum dan dalil
hukum kedua(bayan) setelah Al-Qur’an. Dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil
hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya sebagai berikut:
a. Bayan
ta’kid
Bayan Ta’kid yaitu menetapkan dan
menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an. Dalam ini sunnah hanya
seperti mengulangi apa yang dikatakan Allah dalam Al-qur’an. Contohnya Allah
berirman:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. (QS.al-Baqarah:110)
b. Bayan
tafsir
Bayan Tafsir yaitu memberikan
penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an, atau terperinci apa-apa yang
dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar, memberi batasan terhadap apa
yang disampaikan Allah secara mutlak.
Perintah shalat disampaikan
Al-qur’an dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya karena dapat saja
dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum pada waktu
itu. Kemudian Nabi melakukan perbuatan shalat secara jlas dan terperincidan
menjelaskan kepada umatnya : “inilah shalat dan kerjakanlah shalat itu sebagai
mana kamu lihat aku mengerjakannya.”
Dalam Al-Qur’an secara umum
dijelaskan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah ahli waris bagi oang
tuanya yang meninggal(QS.an Nisa’:7) sunnah Nabi membatasi hak warisan itu
hanya kepada anak-anak yang bukan penyebab kematian orng tuanya itu, dengan
ucapan: pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya”.
c. Bayan
Tasyri
Bayan Tasyri yaitu menetapakn suatu
hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak di sebutkan dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapakn
Al-Qur’an.
Seperti al-Qur’an menjelaskan tidak
bolehnya mengawini dua perempuan yang bersaudara dalam waktu yang sama. (QS:
an-Nisa:23). Sunnah Nabi memperluas hal itu dengan ucapan: “Tidak boleh memadu
seseorang dengan bibinya atau dengan anak saudaranya”. Al-qur’an melarang
mengawini perempuan yang mempunyai hubungan nasab. Sunnah Nabi memperluas
laranngan mengawini saudara sepersusuan. Larangan karena sebab susuan ,
disamakan dengan larangan karena sebab hubungan nasab.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan
teliti akan jelas apa yang ditetapkan tersendiri oleh sunnah itu, pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Allah dalam Alqur’an
atau memperluas apa yang disebutkan
Allah secara terbatas.
Umpama Allah SWT menyebutkan dalam
al-Qur’an tentang haramny memakan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang
disembelih tidak dengan menyebut nama Allah(QS. Al-Maidah:3). Kemudian
mengatakan “haramnya setiap binatang buas yang bertaring dan kukunya mencekam’.
Larangan ini secara lahir dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan
oleh Nabi. Sebenarnya larangan Nabi itu hanyalah penjelasan terhadap larangan
Allah memakan sesuatu yang kotor(QS. Al-a’raf:33) [4]
B.
Macam-macam
Assunnah dan perbedaanya dengan al-hadist dan al-Atsar
1. Macam-macam
Assunah
a. Sunnah
fiqliyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat, atau diketahui
dan disampaikan para sahabat pada orang lain. Misalnya, tata cara yang
ditunjukan Rosullah SAW. Kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau
mengetahuinya kepada orang lain.
b. Sunnah
Qoulyyah, yaitu ucapan Nabi SAW. Yang didengar oleh dan disampaikan seorang
atau beberapa sahabat kepada orang lain. Misalnya, sabda Rosullah yang
diriwayatkan Abu Hurairah:
“tidak sah shalat seseorng yang
tidak membaca surat Al-Fatihah” (HR al-Bukhari dan Muslim}
c. Sunnah
taqqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan Nabi
SAW, tetapi Nabi hanya diam dan tidak menceganya. Sikap diam dan tdak mencega
dari Nabi SAW ini, menunjukan persetujuan Nabi SAW (taqqrir), terhadap
perbuatan sahabat tersebut.
2. Perbedaan
Assunnah dengan hadits dan atsar
Ada beberapa istilah yang mengandung
perbedaan makna dalam pembicaraan sunnah, istilah itu adalah Sunnah, Hadist dan
Atsar. Istilah sunnah bisa disandarkan kepada Nabi, sahabat, dan umat manusia
pada umumnya. Istilah Hadist biasanya digunakan hanya terbatas kepada terhadap
apa yang datang dari Nabi Muhamad SAW. Istilah Atsar digunakan terhadap apa
yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.[5]
C.
Kuhujjahan
Assunnah
Umat islam
sepakat bahwa Ucapan, perbuatan, dan penetapan Rosullah Saw yang mengaruh pada
hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang sahih yang
mendatangkan kepastian atau dugaan kuat
atas kebenarannya adalah Hujjah bagi umat islam. Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk
menetapkan hukum syra’ atas perbuatan orng-orang mukallaf. Artinya, hukum yang
terkandung di dalam al-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalm
Al-Qur’an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Bukti atas kekuatan al-Sunnah
sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:
Pertama:
Nash-Nash Al-Qur’an . karena Allah SWT sering kali dalam ayat-ayat Al-Qur’an
memerintahkan untuk taat kepada Rosul-Nya, menjadikan taat kepad rosul sebagai
bukti ketaatan kepada-Nya. Dia memerintahkan kepad umat islam untuk
mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah
dan Roulnya. Dia tidak memberikan alternative lainkepada umat islam ketika
Allah dan Rosulnya telah menetapkan suatu hukum. Dia juga tidak menganggap
beriman bagi mereka yang tidak puas dan tidak menerima atas keputusan Rosul. Semua ini adalh bukti dari Allah bahwa
penetapan hukum yang dilakukan Rosullah adalh penetapan hukum Tuhan yang
diikuti.
Kedua:
kesepakatan para Sahabat ra, baik semasa hidup Maupin sepeninggal Rosulullah
SAW. Akan kewajiban mengikuti sunnah
Rasul. Dimasa hidup Nabi, para sahabat telah melaksanakan hukum,
menjalankan perintah dan ( menjahui)
larangan Nabi SAW; halal dan Haram. Dalam melaksanakan kewajiban
mengikuti, mereka tidak membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu Allah
berupa Al-Qur’an atau hukum yang keluar
dari Nabi sendiri. Oleh karena itu Mu’adz bin Jabal berkata, “ bila aku tidak menemukan hukum yang aku
jadikan putusan maka aku putuskan dengan sunnah Rasul. “ demikian juga pada
saat Rasulullah telah wafat, bila mereka tidak menemukan hukum atas sesuatu
yang terjadi pada mereka, maka diputuskan dengan rujuk kepada sunnah
Rasulullah. Ketiks Abu bakar tidak hafal
sunnah mengenai suatu kejadian , dia bertanya pada umat islam, “ apakah
diantara kalian ada yang hafal sunnah dari Nabi kita mengenai kejadian ini?”
demikiam juga dilakukan oleh Umar, para sahabat yang bertugas menyampaikan
fatwa dan member putusan hukum, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, karena tidak
diketahui seorang diantara mereka yang menyalahi kesepakatan bahwa ketika penukilan
sunnah Rasul itu Shahih, maka wajib
untuk di ikuti.
Ketiga: Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menetapkan
berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan petunjuk
pelaksanaannya tidak terperinci. Seperti Firman Allah:
“dirikanlah shalat dan tunaikanlah Zakat” (QS.
An-Nissa:77)
“diwajibkan atas kamu berpuasa “ (QS. Al-Baqarah:
183)
“mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”(QS. Al-Imran:97)
Allah
tidak menjelaskan bagaimana bagaimana cara mendirikan shalat , menunaikan
zakat, melaksanakan puasa dan haji. Kemudian Rasulullah SAW, menjelaskan
keglobalan ayat-ayat tersebut dengan ucapan atau perbuatan beliau, karena Allah
telah member kekuasaan kepada beliau untuk memberikan penjelasan dengan
firmannya.
Apabila
Al Sunnah yang menjelaskan keglobalan Al Quran itu bukan hujjah atas umat islam
dan bukan undang-undang yang harus di ikuti,mak tidak mungkin untuk
melaksanakan kewajiban dan hukum-hukum yang ada dalam Al Quran.Al Sunnah wajib
di ikuti karena ia dating dari Rosul dan di riwayatkan dengan sanad yang dapat
di pastikan atau di duga kuat dari Rosul.Semua sunnah syara’ yangdi akui sahih
dari Rosul adalah hujjah yang harus di ikuti, baik menjelaskan hukum yang
terkandung dalam Al Quran atau menetapakan hukum (baru) yang tidak terdapat
dalam Al Quran.Karena sunnah-sunnah itu sumbernya itu adalah Rosul yang ma’shum
yang telah diberi kekuasaan oleh Allah swt,untuk menjelaskan dan membuat hukum
syara’ [6]
D.
Hubunga
antara Al-Qur’an dan Assunnah
Hubungan assunah dengan alqur’an ditinjau dari segi
penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syri’at adalah bahwa assunnah itu
sebagai sumber hukum yang sederajat lebi rendah dari pada alqur’an, artinya
ialah bahwa seorang mujtahit dalam menetapkan hukum suatu peristiwa tidak akan
mencari dalam assunnah lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan
ketentuan hukumnya didalam alqur’an hal itu di sebabkan karena alqur’an menjadi
dasar perundang-undangan dan sumber hukum yang pertama. Apabila ia memperoleh
ketentuan hukum yang dicarinya didalam alqur’an harus diikutinya dan apabila
tidak mendapatkannya, maka ia harus mencari dalam assunnah dan bila ia
mendapatkannya dari assunnah hendaklah di ikutinya.
Adapun hubungan assunnah dengan alqu’an dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya
ada tiga macam:
a. Menguatkan
hukum suatu peristiwa yang letah di tetapkan hukumnya di dalam alqur’an. Dengan
demikian hukum peristiwa terseut di tetapkan oleh dua buah sumber. Yakni
alqur’an sebagai sumber penetap hukm dan assunnah sebgai sumber yang
menguatkannya.
b. Memberikn
keterangan (bayan) ayat-ayat alqur’an.
Dalam memberikan penjelasan ini ada
tiga macam. Yakni:
1. Memberikan
perincian ayat-ayat yang masih mujmal
2. Membatasi
kemutlakannya. misalnya al qur,an
membolhkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat atas harta peninggalanya
berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya.
Kemudian rosulullah memberikan
batasan maksimal wasiat yang di perkenankan dalam salah satu wawancaranya
dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang memintah agar di perkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan
wasiat sebesar itu di tolak oleh beliau, mnta di perkenankan wasiat ½ harta
peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini di tolak pula, lalu minta
di perkenankan 1/3 hartanya. Rosulullah mengizinkan 1/3 ini. Katanya:
“...sepertiga itu adalah banyak dan
besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah
lebih baik dari pada jika kamu meninggalkan dalm keadaan miskin yang
meminta-minta pada orang banyak.”
3. Mentakhshihkan
keumumannya. Misalnya Allah berfirman secara umum keharam makan bangkai (
binatang yang tiada di sembelih dengan nama Allah) dan darah. Dalam firman-Nya:
“ diharamkan bagi kamu makan
bangkai , darah dan daging babi” (al-Maidah :3)
Kemudian Rosulullah SAW.
Mengkhususkannya dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut,
belalang, hati dan limpa.
4. Menciptakan
hukum baru yang tiada terdapat di dalam Al-qur’an. Misalnya beliau menetapkan
hukum haramnya binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat. [7]
IV.
KESIMPULAN
Dari materi diatas setidaknya ada beberapa poin yang
dapat disarikan dalam tema singkat tentang “As-Sunnah” ini:
1. As-Sunnah
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh Nabi SAW, baik secara perkataan,
perbuatan, dan penetapannya.
2. Macam-macam
assunnah ada tiga, yaitu sunnah qaulyyah, sunnah fi’lyyah, dan sunnah
taqqriryah.
3. Hubungan
assunnah dengan Al-Qur’an yaitu Menguatkan hukum suatu peristiwa yang letah di
tetapkan hukumnya di dalam alqur’an,dan
Memberikn keterangan (bayan) ayat-ayat alqur’an,
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun.
Punulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh
dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah saya selanjutnya. Akhirnya semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membcanya. Amien.
DAFTAR
PUSTAKA
Mukhtar yahya,
dasar-dasar pembinaan hukum fiqih-islami
Khallaf , Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih,jakarta:,pustaka
Amani
Usman, Suparman.
hukum islam, jakarta: gaya media pratama,2001
Thalib,
Muhammad, ilmu ushul Fiqh,
jakarta:bina ilmu, 1977
[1] Muhammad Thalib, ilmu ushul
Fiqh, (jakarta:bina ilmu, 1977) hlm.67
[2] Suparman Usman, hukum islam, (jakarta: gaya media pratama). Hlm 44-46
[3] Muhammad Thalib, ilmu ushul
Fiqh, Op. Cit, hlm. 67-68
[4] Suparman Usman, hukum islam, Op.Cit.
hlm. 50-51
[5] Ibid, hlm 45-46
[6] Abdul Wahab khallaf, Ilmu
Ushul Fikih(jakarta:,pustaka
Amani) hlm.