Dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa:
- Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
- Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
- Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
Pasal
54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa; ”Mahkamah
Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan
kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan
permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. DPD
dapat menjadi pihak dalam perkara permohonan pengujian UU. Mahkamah Konstitusi harus
mendengar dan/atau meminta keterangan DPD dalam hal UU yang diuji, dalam proses
pembentukannya melibatkan peranan DPD, sedangkan dalam hal pengujian UU yang
materi muatannya berkaitan dengan kepentingan daerah, meskipun tidak melibatkan
DPD dalam proses pembentukannya maka Mahkamah Konstitusi dapat mendengar
dan/atau meminta keterangan DPD. Contoh perkara dimana pemerintah dan DPR
memberikan keterangan dalam persidangan adalah pada Putusan Nomor
003/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap UUD 1945.
Kata
”dapat” dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi berarti bahwa meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak harus dilakukan, sangat tergantung dari
pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara yang sedang diperiksa. Sangat
mungkin terjadi bahwa Mahkamah Konstitusi tidak meminta keterangan kepada DPR, DPD,
dan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian UU
yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dapat dilihat
antara lain dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/ 2009 perihal Pengujian UU Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD
Negara RI Tahun 1945. Dalam bagian menimbang putusan tersebut, Mahkamah
Konstitusi mengemukakan bahwa dalam perkara ini, Mahkamah Konstitusi memandang tidak
perlu mendengar keterangan Pemerintah maupun DPR berdasarkan Pasal 54 UU Nomor
24 Tahun 2003, MK, selain itu mengingat urgensi dari perkara ini telah
mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka
keperluan untuk diputus secara cepat pada hari yang sama sejak perkara
diperiksa dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 45 ayat (9) UU MK, yang berbunyi,
“Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda
pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak. Berdasarkan Pasal 38
ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka para pihak
yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau
kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 25 ayat (2) PMK
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU, Presiden
dapat memberikan kuasa kepada subtitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta
para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok
permohonan.
Sedangkan
DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada pimpinan
dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR
yang ditunjuk. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Mahkamah Konstitusi tidak
mengadili pembentuk UU, dan kedudukan pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait
yang diperlukan keterangannya, dan dalam memberikan keterangan baik secara
lisan maupun tertulis, dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga
negara tersebut.
MPR
merupakan lembaga yang berwenang membentuk UUD, sedangkan DPR, DPD, Presiden
merupakan lembaga-lembaga negara yang berwenang membentuk UU. Oleh sebab itu
dalam perkara pengujian UU terhadap UUD dipandang perlu untuk mendengarkan
keterangan dari pihak-pihak tersebut. Dalam Pasal 25 ayat (1) PMK Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU dikemukakan lebih
lanjut tentang yang dimaksud dengan keterangan Presiden, yaitu: ”...keterangan
resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok permohonan
yang merupakan hasil koordinasi dari Menteri-Menteri dan/atau Lembaga/Badan
Pemerintah terkait.”
Sedangkan
yang dimaksud dengan Keterangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU
adalah: ”...keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi
fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan
dengan pokok perkara.”
Keterangan
tersebut diperlukan agar Mahkamah Konstitusi mendapatkan keterangan lebih
mendalam mengenai latar belakang serta maksud dari materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji, atau pun hubungan antara ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji tersebut dengan ayat, pasal, dan/atau bagian
lainnya sehingga didapatkan makna yang utuh.