Metodologi penelitian hadits
Hadits yang di kutip kedua ( riwayat Abu Hurairah
tentang perintah menulis untuk diberikan kepada Abu Syah) terjadi pada Fathu
makkah, sedang hadist riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang berisi larangan menulis
selain Al-Qur’an terjadi sebelum fathu makkah.
Menurut pengakuan Abu Hurairah, yang membedakan
dirinya dengan Abulla bin Amr adalah soal mencatat Hadis yakni Abu hurairah
hanya mengandalkan Hafalan, sedang Abdullah selain menghafal juga menulis
Hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Syakir lebih lanjut pengakuan Abu
Hurairah itu menunjukan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibnu Amr itu
adalah pada masa setelah Abu hurairah menolak islam. (Abu Hurairah
masuk islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).
Ahmad Muhammad Syakir juga menolak pendapat yang
menyatakan Bahwa hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri itu mauquf. Menurut
penelitian Syakir, hadis tersebut marfu’ dan berkualitas
shahih. Pendapat Syakir didukung oleh sebagian ulama’, misalnya Muhammad
AS-sabbag.
Dr.Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam tesis dan
disertasinya mengemukakan pendapatnya, setelah mengutip pendapat ulama, bahwa:
1.
Semua hadis tersbut
berkualitas sahih, tidak ada yang mauquf.
2.
Tiga pendapat berikut
ini dapat dihimpun sebagai pendapat yang benar, yakni:
a.
Larangan
berlaku bila penulisan hadis dijadika satu catatan dengan penulisan Al-Qur’an.
b.
Mungkin
larangan berlaku untuk menulis hadis dalam satu himpunan pada masa awal islam,
sebab dikhawatirkan umat islam terganggu untuk menghafal dan mencatat Al-qur’an,
sedang untuk mempelajari hadis, para sahabat dapat langsung menyaksikan dan
mengikuti rasulullah. Pada masa itu, kepada orang yang tidak dikhawatirkan
mencapuradukan catatan Al-Qur’an dan Hadis, misalnya Abdullah bin Amr
ditoleransi untuk mencatat Hadis. Demikian pula kepada orang yang lemah
hafalanya, dia diperbolehkan untuk mencatat hadis.
c.
Tatkala
umat islam telah mampu memelihara hafalan dan bacaan Al-Qur’an, maka larangan
penulisan hadis dihapus (manshuki) dan secara umum menulis hadis diperbolehkan.
Terlapas dari perbedaan-perbedaan pendapat yang
ada sebagaimana dikemukakan diatas, maka yang jelas bahwa matn-matn hadis yang
tampak bertentangan itu telah dapat diseleaikan dan tidak menjadikan salah satu
matn berkualitas lemah, tetapi masing-masing berkualitas sahih. Dari keempat
cara penyelesaian yang telah disebutkan, maka hanya cara at-tauif yang
tidak muncul. Hal itu dapat dimengerti karena penyelesaian terhadap kandungan
matn hadis yang tampak bertentangan telah dapat dicapai.
Natijah yang dapat dikemukakan dalam hal ini
ialah bahwa seluruh matn hadis yang dikutip diatas sahih. Seluruh sanadnya
(setelah diteliti tersendir) juga sahih. Karenanya, hadis-hadis tersebut
berkualitas sahih.[3]
[3] M.Syuhudi
Ismail, metodologi penelitian hadis nabi,() hlm.149-151