Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Berbagai upaya
dilakukan dalam mewujudkan masyarkat madani, baik yang berjangka pendek maupun
yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek, dilaksanakan
dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya
(credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable).
Jika dicari
akar sejarahnya, maka dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Yunani kuno masalah
ini sudah mengemuka. Rahardjo (1997) menyatakan
bahwa istilah civil society sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Orang yang
pertama kali yang mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM),
sebagai orator Yunani kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik
yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyakat kota yang memiliki kode
hukum sendiri. Dengan konsep civil society (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka
kota dipahami bukan hanya sekerdar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai
pusat peradaban dan kebudayaan.[5]
Istilah masyarakat
madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan pada konsep
negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat
madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang
diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah
sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad
pertengahan (Rahardjo seperti
yang dikutip Nurhadi, 1999).
Menurut Dr.
Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, Al
Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat
majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan
mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan
menyetir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore,
1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah
manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang
orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan
hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Independence, 1997), Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi
Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Sementara itu konsep masyarakat madani, atau
dalam khazanah Barat dikenal sebagai civil society (masyarakat sipil), muncul
pada masa pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui pemikiran John Locke (abad
ke-18) dan Emmanuel Kant (abad ke-19). Sebagai sebuah konsep, civil society
berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya
dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (negara). Dalam tradisi Eropa
abad ke-18, pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the
state), yakni suatu kelompok atau kesatuan yang ingin mendominasi kelompok
lain.
Barulah
pada paruh kedua abad ke-18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. Negara
dan masyarakat madani kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang
berbeda. Bahkan kemudian, Kant menempatkan masyarakat madani dan negara dalam
kedudukan yang berlawanan, yang kemudian dikembangkan oleh Hegel, menurutnya
masyarakat madani merupakan subordinatif dari negara.[6]
Adapun
tokoh yang pertama kali menggagas istilah civil society ini adalah Adam
Ferguson dalam bukunya ”Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil (’An Essay
on The History of Civil Society’)” yang terbit tahun 1773 di Skotlandia.
Ferguson menekankan masyarakat madani pada visi etis kehidupan bermasyarakat.
Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang
diakibatkan oleh revolusi industri, dan munculnya kapitalisme, serta
mencoloknya perbedaan antara individu. [7]
[5] Azyumardi Azra,Op.Cit.hlm 7.
[6] Ibid.hlm 9.
[7] Ibid.hlm 11.