Skip to main content

Kaidah-kaidah Kesahihan Hadits

Kaidah-kaidah Kesahihan Hadits



a.    Unsur-unsur Kaidah Mayor
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah mayor lebih lanjut, perlu dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata kaidah berasal dari bahasa arab قاعدة yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip). Dalam konteks makalah ini, kaidah kesahihan hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan suatu hadis.
Kaidah kesahihan hadis dapat diketahui dari pengertian hadis sahih itu sendiri. Para ulama telah memberikan definisi hadis sahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, di antaranya sebagai berikut :
الحديث الصحيح هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا
“Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan (di dalam hadis hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) serta tidak mengandung cacat (‘illat).” 


Menurut ta’rif Muhaddisin tersebut, bahwa suatu hadis dapat dinilai sahih apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur:
1)                Sanadnya bersambung : artinya tiap-tiap perawi (periwayat) dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Atau bahwa tiap-tiap rawinya bertemu dengan marwi ‘anhunya
2)                Rawinya bersifat ‘adil : artinya tiap-tiap perawi itu seorang muslim, balig, jauh dari maksiyat, bukan fasiq dan tidak pula jelek perilakunya, gigih dalam memelihara muru’ah.
3)                Rawinya bersifat dhabith : artinya masing-masing perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa ingatan dalam dada (dhabith ash-shadr) maupun dalam kitab (dhabith al-kitab). Para rawi tersebut dalam keadaan sadar tatkala menerima hadis, paham terhadap hadis yang ia terima dan mampu memelihara keaslian hadis-hadis yang ia terima sejak menerimanya dari guru sampai saat menyampaikannya pada murid.
4)                Dalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) : artinya hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyelisihi orang yang terpercaya dari lainnya, dengan kata lain tidak berlawanan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih. Dan
5)                Dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat) : artinya hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat mencederai pada kesahihan hadis, sementara dlahirnya selamat dari cacat.

Ibnu Ash-Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis sahih seperti tersebut di atas, telah disepakati oleh para muhaddisin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang kesahihan suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagaian sifat-sifat tersebut. Misalnya Abiz Zinad mensyaratkan bagi hadis sahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadis.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis sahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut. Syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.
Dengan demikian persyaratan atau kaidah umum sebagaimana tersebut pada definisi di atas dipandang sudah memiliki tingkat akurasi dan akseptabilitas yang tinggi di mata para ahli hadis.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.

Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologis untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.

 b.    Unsur-unsur Kaidah Minor dalam Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan kaidah minornya , maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
1)       muttasil (bersambung)
2)       Marfu’ (bersandar kepada Nabi SAW)
3)       mahfuzh (terhindar dari syudzudz)
4)       bukan mu’all (bercacat).
Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
1)      beragama Islam.
2)      mukallaf (balig dan berakal sehat)
3)      melaksanakan ketentuan agama Islam.
4)      memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).[2]

Popular posts from this blog

MAKALAH PENGERTIAN IPS DAN PENDIDIKAN IPS

MAKALAH PENGERTIAN IPS DAN PENDIDIKAN IPS I.               PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas dengan segala sesuatu yang berbentuk kemsyarakatan. Sebagai makhluk sosial sangat perlu untuk mempelajari, memahami, dan menerapkan hal-hal sosial yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dengan mempelajari ilmu-ilmu sosial kita dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita dapat berinteraksi dan peka terhadap lingkungan sekitar kita. Ilmu Pendidikan Sosial yang kita kenal sebagai mata pelajaran di akademik ternyata sangat perlu kita kaji dan perdalam untuk bekal kita dalam kehidupan ini. Ilmu sosial yang mencakup banyak hal seperti sosial, ekonomi, geograpi, sejarah, antropologi, itu memuat banyak hal yang membahas mengenai kehidupan di masyarakat. Dengan ruang lingkup yang sangat luas itulah kita harus mengkaji satu persatu secara detail demi pemahaman kita tentang ilmu-ilmu tersebut sehingga kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan se

MAKALAH TENTANG AS-SUNNAH

I.                    PENDAHULUAN Bahwasannya ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid didalam menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak terdapat nashnya, juga merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam memahami isi undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil sesuai dengan maksud syar’i. Dalam hal ini kami akan membahas sumber hukum islam yang ke-2 yaitu As-Sunnah, ulama Fiqh memandang As-sunnah secara etimologi berarti jalan, tetapi kalau kata ini dikaitkan dengan Rasulullah SAW, baik dalam kata ataupun pengertiannya, maka maksudnya adalah suatu sabda atau perbuatan atau taqrir beliau. [1] II.                 RUMUSAN MASALAH A.     Apa pengertiandan   fungsi As-Sunnah dalam pembinaan hukum islam? B.      Macam-macam As-sunnah serta perbedaannya dengan Al hadist dan astsar C.      Apa kehujjahan Assunnah? D.     Hubungan anatara Al-Qur’an dan Assunnah III.